Dewasa ini, penyakit diabetes telah jauh berkembang dan menjangkit setiap orang, terutama yang tidak mampu menjaga pola hidupnya. Sedentary life style sering menjadi pemicu penyakit ini. Beberapa bahkan sudah tidak dapat ditangani dengan antidiabetik oral, harus menggunakan insulin sebagai pilihan terakhir. Pilihan terapi insulin sebenarnya diprioritaskan pada diabetes Tipe I yang diakibatkan oleh genetik (autoimun), tetapi karena antidiabetik oral tidak adekuat lagi, terapi insulin mulai diberikan pada penderita diabetes Tipe 2 dengan tujuan mengontrol kadar gula darah agar berada pada kisaran normal.
Pertimbangan dalam menggunakan antidiabetik oral berdasarkan karakteristik insulin dalam tubuh penderita, yakni:
1. Defisiensi insulin relatif, yakni insulin yang disekresikan tidak cukup memetabolisme glukosa dalam tubuh.
2. Resistensi insulin, yakni insulin yang dihasilkan tidak mampu bekerja karena kepekaan terhadap reseptor yang berkurang, sehingga meskipun terjadi hiperinsulinemia (kadar insulin meningkat), insulin tersebut tidak mampu memasukkan glukosa ke dalam sel untuk proses metabolisme dalam sel (Greene dan Harris, 2008: 590) seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Mekanisme Resistensi Insulin
Pada kasus defisiensi insulin dari sel beta pankreas, dapat diberikan golongan sulfonilurea yang meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pankreas dengan asumsi bahwa kepekaan dengan reseptornya masih tinggi. Sebaliknya pada kasus di mana terjadi resistensi insulin, percuma saja diberikan golongan obat yang mampu meningkatkan sekresi insulin, karena yang bermasalah adalah kepekaan terhadap reseptornya, bukan gangguan sekresi insulinnya. Golongan biguanida (metformin) memiliki mekanisme meningkatkan sensitivitas reseptor insulin sehingga sesuai sebagai terapi DM tipe 2 resistensi insulin. Akan tetapi, metfomin tidak boleh diberikan pada pasien lanjut usia dengan serum kreatinin > 1,5 mg/dL, sehingga alternatif yang disarankan adalah pemberian golongan thiazolidinediones (TZDs) seperti pioglitazone yang beraksi dengan mengikat peroxisome proliferator-activated receptor-γ (PPAR-γ), yang utamanya berada pada sel adiposa dan sel pembuluh darah (Triplitt et al., 2008: 1224). PPAR-γ mengatur transkripsi gen yang mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid, contohnya PPAR-γ menstimulasi transkripsi GLUT-4, suatu transpoter glukosa yang menstimulasi uptake glukosa. Dengan menurunkan ekspresi GLUT-4 dapat mengatasi terjadinya resistensi insulin. TZDs secara langsung maupun tidak langsung mensensitisasi jaringan adiposa terhadap kerja insulin. Efeknya termasuk menstimulasi apoptosis dari sel adiposit dan meningkatkan penyimpanan asam lemak bebas pada sel adiposa (Koda Kimble et al., 2009: Chapter 50: 55).
Daftar Pustaka
Greene, R. J. dan Harris, N. D. 2008. Pathologic and Therapeutics for Pharmacists: A Basic for Clinical Pharmacy Practice 3rd Edition. London: Pharmaceutical Press.
Koda Kimble, M.A., Young, L.Y., Alldregde, B. K., Corelli, R.L., Guglielmo, B.J., Kradjan, W.A. dan Williams, B. R. 2009. Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Ninth Edition. Philadelphia: Lippicont Williams and Wilkins. pp 8-55.
Triplitt, C.L., Reasner, C.A. dan Isley, W.A. 2008. ‘Endocrinologic Disorders: Diabetes Mellitus’ in Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B. G., Posey, L. M. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition. New York: Mc Graw Hill.
0 comments:
Post a Comment